Seni musik rebana pesisiran di Kabupaten Demak kini kembali populer. Beberapa tahun lalu, keberadaan seni tersebut nyaris punah. Untung saja masih ada orang-orang yang peduli melestarikannya. Salah satu pelestari seni rebana adalah Suyadi, pria kelahiran Demak 22 November 1966. Hingga kini ia masih setia menjaga kearifan lokal melalui aktivitas seni rebana.
Ia membentuk grup rebana ‘An Nasihin’, yang kini kerap tampil dalam berbagai kegiatan sunatan, pesta pernikahan hingga gelaran pengajian lintas daerah. Di rumahnya yang berada di Desa Kedungmutih Kecamatan Wedung, kemarin, Suyadi menuturkan, seni rebana dikampungnya sempat mati suri lantaran proses regenerasi yang kurang baik. Untuk membangkitkan kembali seni tradisional khas daerah pantai itu, ia pun melakukan pengkaderan. Tepatnya pada 1999, sejumlah warga bahkan dikursuskan musik. “Setiap malam, kami berlatih rebana di desa tetangga. Setidaknya sebulan 6 kali latihan,” terangnya.
Perjuangannya untuk melestarikan rebana tidak berhenti sampai di situ. Ia bersama pemerintah desa lantas membuat kesepakatan untuk mengumpulkan dana. “Waktu itu, kita menjual garam yang terkumpul dari warga sebanyak 10 ton. Dari penjualan garam itu kita mendapatkan dana sebesar Rp 1,5 juta,” katanya. Setelah dana terkumpul, pihak desa kemudian membelikannya alat-alat musik rebana. Yang dibeli antara lain, dua set terbangan (6 buah), ketiplak 2 buah, jidor kecil 1 buah, jidor besar 1 buah dan kecrek 1 buah.
Alat rebana yang dibeli dari daerah Bonang ini kemudian menjadi modal awal untuk membentuk kelompk rebana yang mayoritas anggotanya adalah nelayan. Kini, rebana ‘An Nasihin’ telah beranggotakan 20 orang. Kali pertama mengenalkan musik rebana pesisiran itu, Suyadi dan rekannya berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya. Jadwalnya bergiliran. Lambat laun, seni musik rebana bahkan dijadikan tontonan wajib di acara hajatan warga setempat.
Berbeda dengan umumnya, musik rebana yang dikenalkannya itu dilengkapi dengan vokalis atau penyanyi yang piawai membawakan lagu Islami, seperti shalawatan dan qosidah nasidaria. “Penyanyi kita datangkan dari luar daerah,” ujar Suyadi. Belakangan ini grup besutannya itu makin moncer. Berbagai order undangan
untuk manggung pun mulai diterimanya. “Awalnya, sekali tampil kita dibayar Rp 750 ribu. Sekarang lebih dari itu,” jelasnya tanpa mau menyebut nominal pasti.
Dia mengatakan, setiap bulan bisa menerima order 5 kali manggung. Paling ramai saat bulan Syawwal, Besar dan Ruwah. Pada bula-bulan tersebut, bisa dikatakan masa panen job. Kemudian hasil manggung itu digunakan untuk kesejahteraan anggotanya, juga untuk mengganti alat-alat musik yang mulai rusak. Ia menuturkan, daerah pesisir seperti di Desa Kedungmutih masih kental dengan nilai-nilai keagamaan. Karenanya, pengembangan seni musik Islami semacam rebana, sangat terbuka luas. “Karena itu pula, kita terpanggil untuk melestarikan musik pengiring shalawatan ini,” pungkas Suyadi.
0 Response to "Melestarikan Rebana Pesisiran"
Post a Comment