Saya akhirnya memutuskan untuk menggunakan KMS dalam merancang sebuah proyek-baru nan menantang yang, insya Allah, jika tak ada aral-melintang, akan dapat dicicipi oleh para penggunanya pada bulan Ramadhan mendatang. Mohon maaf, saya belum dapat menjelaskan secara detail apa proyek-baru saya tersebut. Silakan Anda menduga-duga dan menebak-nebak. Yang jelas, dalam menyusun proyek-baru ini, saya benar-benar menikmati betapa “online” mampu memberikan efek-dahsyat bagi kegiatan belajar secara mandiri.
Dalam kesempatan ini, saya akan memberikan alasan saya mengapa saya akhirnya memilih KMS dan bukan LMS. Pertama, KMS benar-benar membuat kegiatan belajar secara “online” tidak pasif (tidak hanya menerima atau mewadahi “knowledge”). Kedua, KMS cocok dengan sifat otak yang mengolah, bukan sekadar menyimpan (menghafal) data. Ketiga, KMS merangsang seorang pembelajar untuk menunjukkan subjektivitas (keunikan)-nya. Keempat, hasil KMS konkret berbentuk tulisan—seorang pembelajar harus menjadi produsen ide. Dan, kelima, KMS cocok sekali dengan konsep membaca dan menulis saya yang bernama “mengikat makna”.

Di bawah ini, saya cuplikkan sebuah tulisan dengan judul “Best Practices”. Silakan Anda menikmati dan—terutama—mengait-ngaitkannya dengan keputusan saya kenapa saya akhirnya memilih KMS (untuk proyek-baru saya nanti) meskipun saya sudah memberikan lima alasan.
***
BEST PRACTICES
Cikal bakal “Knowledge Management” antara lain ditandai oleh adanya perhatian terhadap apa yang disebut sebagai “best practices” yang dijalankan oleh para pelaku usaha dan karyawan, atau yang muncul dari hubungan antara karyawan dan pelanggan. Disebut “best” karena yang diambil adalah praktik-praktik yang membeirkan hasil (“outcome”) terbaik atau yang mampu meningkatkan keunggulan daya saing perusahaan.
Praktik-praktik tidak tertulis (“tacit knowledge”) itu biasanya hanya dipahami oleh orang yang mengalaminya. Jika orang itu sakit, berhenti bekerja, pindah kantor, atau pensiun, pengetahuan itu hilang begitu saja. Itulah “intangibles”; ia melekat pada “brain memory” dan “muscle memory” manusia. Tidak ada cara lain bagi kita untuk mengambil memori individu itu selain memindahkannya dari “tacit” (melekat pada manusia dalam bentuk ingatan, pengalaman, dan percakapan) menjadi “explicit” (tertulis). Setiap pengalaman (baik sukses maupun gagal) akan memberi pelajaran. Dan hal ini harus dicatat, dikumpulkan, dievaluasi, dan dijadikan referensi tertulis.

Dengan demikian, dalam “knowledge management”, perusahaan menerapkan cara-cara untuk mengidentifikasi, menciptakan, mengoreksi, mentabulasi, mendistribusikan, dan memperkuat upaya untuk mengadopsi segala “insights” dan pengalaman berharga. Dengan penerapan “knowledge management”, banyak hal berharga menjadi pengetahuan yang dapat direplikasi oleh orang-orang lain. Tentu saja ada prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu budaya disiplin, budaya mencatat (dalam bahasa saya “mengikat”—HH), budaya “sharing”, dan budaya belajar. Semua harus dapat dibentuk dengan “knowledge management”.
***
Cuplikan itu saya ambil dari buku Myelin-nya Rhenald Kasali. Tepatnya, ia berasal dari Bagian II, Bab 6 “Knowledge Management”, halaman 211. Dahsyat kan jika Anda dapat menjalankan KMS pada saat ini? Meski kadang KMS dibahas dan dikaji secara canggih oleh para ahli, sesungguhnya kuncinya hanya ada pada satu kegiatan: menulis—atau dalam bahasa saya “mengonstruksi” atau memproduksi”.[]
0 Response to "Antara “Knowledge Management System” (KMS) dan “Learning Management System” (LMS): Anda Pilih yang Mana?"
Post a Comment