Membaca dapat memperkaya diri dengan kata-kata; sementara itu, menulis dapat diibaratkan sebagai kegiatan mengeluarkan “diri” dengan bantuan kata-kata. Jika kita ingin menulis tetapi enggan membaca, kegiatan menulis yang kita jalani akan menjadi kegiatan yang berat dan kadang-kadang menyiksa.
--HERNOWO
Sebuah pertanyaan menggelitik, yang sering saya dengar, mungkin menarik untuk mengawali tulisan saya ini: “Pak Hernowo, bagaimana menghilangkan pengaruh dari buku-buku yang saya baca? Menuliskan itu ‘kan memerlukan membaca. Tetapi, ketika saya telah membaca banyak buku, pikiran saya pun dipenuhi oleh banyak sekali pikiran orang lain yang berasal dari buku-buku yang saya baca. Akhirnya, begitu saya menulis, yang saya tulis adalah pikiran orang lain.”
Saya bisa merasakan betapa tidak mudahnya menjawab sekaligus mengatasi persoalan yang menjadi inti pertanyaan di atas. Saya sendiri pernah mengalami hal itu. Ketika saya menulis, diri saya hilang. Yang muncul di tulisan saya adalah diri orang lain—maksud saya, pikiran orang lain. Di samping itu, saya sendiri sering melontarkan pernyataan yang bernada ganjil: “Saya hanya dapat menulis apabila saya mengawali kegiatan menulis saya dengan membaca buku.”
Yang perlu saya dudukkan terlebih dahulu di sini adalah bahwa menulis memang memerlukan membaca—ini semacam “hukum emas” menulis yang tidak dapat diganggu gugat. Anda tetap dapat melakukan kegiatan menulis tanpa membaca. Namun, kegiatan menulis Anda tidak akan meningkat kualitasnya. Bahkan yang akan Anda jumpai—jika Anda tetap bersikukuh untuk menjalankan kegiatan menulis tanpa membaca—adalah Anda akan kehabisan kata-kata. Mungkin di kepala Anda banyak sekali ide; tetapi, ide itu tak dapat dikeluarkan secara lancar karena kata-kata Anda tidak mencukupi.
Membaca dengan tujuan memperkaya diri dengan kata-kata berbeda 180 derajat dengan membaca yang kemudian diri yang membaca itu dipengaruhi oleh apa yang dibaca. Ketika kita membaca, pikiran kita mau tidak mau tentulah bersentuhan dengan pikiran orang lain. Fakta ini tentu tidak dapat kita hindarkan. Salah satu manfaat terbesar membaca adalah pikiran kita diperkaya oleh materi-materi yang kita baca. Dengan membaca, pikiran kita pun mengembara dan berkembang secara luar biasa.
Persoalannya, banyak orang membaca dan berhenti di kegiatan membaca saja—setelah dia merasakan bahwa pikirannya diperkaya oleh apa yang dibacanya. Dia tidak melanjutkan dengan kegiatan penting usai membaca: mengolah apa yang dibacanya. Benar bahwa ketika kita membaca, pikiran kita otomatis berkembang. Namun, dengan berkembangnya pikiran kita, materi-materi yang kita baca itu tidak otomatis menjadi sesuatu yang ”melekat” di dalam diri kita. Materi-materi itu perlu diolah lebih jauh. Saya menganggap bahwa sarana untuk mengolah materi-materi yang kita baca adalah kegiatan menulis.

Di sini, saya menggunakan kata-kata Ali bin Abi Thalib sebagai dasar berpijak. Apa kata-kata Ali? “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Jadi, jika Anda ingin mengolah materi-materi yang telah And abaca dan kemudian materi-materi tersebut “menyatu” dengan diri Anda (atau menjadi milik Anda), Anda perlu melanjutkan kegiatan membaca dengan menulis. Saya mempraktikkan pesan dari Ali itu begini: “Begitu saya selesai membaca, saya pun merenungkan apa yang saya baca dan kemudian berusaha keras untuk mengungkapkan pemahaman saya (secara tertulis) atas yang saya baca.”
Apabila Anda sempat membaca tulisan saya yang mengawali tulisan ini, Anda tentu tahu perbedaan besar antara kegiatan menulis di tingkat dasar dan di tingkat menengah. Di tingkat dasar, Anda diminta untuk berlatih mengungkapkan apa yang ada di pikiran Anda saja. Diharapkan, dari kegiatan berlatih mengungkapkan pikiran milik Anda sendiri tersebut, Anda pun akan mendapatkan pikiran original milik Anda. Dalam latihan menulis di tingkat dasar ini, Anda juga sekaligus dapat mencoba mengenali diri Anda—Anda mau ke mana dan apa sih yang ingin Anda tulis itu sesungguhnya.
Nah, ketika Anda berlatih menulis di tingkat menengah, Anda diminta untuk mengungkapkan pikiran orang lain yang Anda pahami. Tentu, agar Anda dapat mengungkapkan pikiran orang lain, Anda harus membaca teks yang ditulis oleh orang lain itu terlebih dahulu. Di tingkat menengah ini, pikiran original Anda mungkin akan bercampur—atau malah akan bersinergi—dengan pikiran orang lain. Percampuran atau proses bersinergi ini memang bisa berakibat buruk atau malah sangat baik bagi diri Anda. Buruk jika Anda kemudian melontarkan pertanyaan yang saya gunakan sebagai pembuka tulisan ini; dan baik jika Anda berhasil memperkuat pikiran original Anda.
Pernah saya katakan bahwa berlatih menulis di tingkat menengah—setelah Anda berhasil menyelesaikan latihan menulis di tingkat dasar secara hampir sempurna—ini bagaikan berlatih menulis dengan menggunakan referensi karena Anda harus membaca buku-buku yang kaya dan beragam. Inilah kegiatan menulis—dalam bahasa saya—yang “referensi-al” (ingat, yang tahap dasar saya sebut sebagai yang “original”, dan nanti yang tahap advance saya sebut sebagai yang “ide-al”). Saya berharap sekali, Anda kemudian dapat memahami keinginan saya mengapa saya menyebut ketiga tahapan (atau kelas) menulis tersebut dengan hal-hal seperti itu.
Sekarang, jika saya meminta Anda untuk menjawab pertanyaan menggelitik yang saya cantumkan di awal tulisan ini, tentulah Anda akan dapat menjawab dengan fasih bukan? Di sini, di tingkat menengah ini, pikiran Anda memang tidak lagi murni pikiran milik Anda sendiri. Ada pikiran orang lain yang menyerbut pikiran murni Anda akibat kesukaan Anda membaca buku. Namun, saya yakin sekali apabila latihan menulis Anda di tingkat dasar berhasil membuat diri Anda unik dan kuat, pikiran murni Anda niscaya akan dominan.
Bagaimana akhir dari bentuk pikiran Anda di kegiatan menulis pada tingkat advance? Semoga saya dapat membahasnya di lain kesempatan.[]
0 Response to "Catatan Hernowo Hasim: APA SESUNGGUHNYA YANG INGIN ANDA TULIS? (2): Berlatih Menulis di Tingkat “Intermediate”"
Post a Comment