![]() |
Judul : Filosofi Kopi
Penulis : Dee (Dewi Lestari)
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2012
Tebal : xiv + 142 halaman
ISBN : 978-602-8811-61-3
Peresensi : Hibatun Wafiroh (penikmat buku
tinggal di Demak)
Sebagaimana dikatakan Goenawan Mohamad, jika ada yang memikat pada Dee adalah
cara dia bertutur: ia peka pada ritme kalimat. Kalimatnya berhenti atau terus
tidak hanya karena isinya selesai atau belum, tapi karena pada momen yang tepat
ia menyentuh, mengejutkan, membuat kita senyum atau memesona (hal. xi).
Karya-karya penulis yang juga penyanyi itu selalu bernas, menarik dan memukau,
tidak terkecuali Filosofi Kopi.
Dalam buku yang merupakan karya sastra terbaik 2006 pilihan Majalah Tempo
ini dikisahkan bahwa Ben sangat menggilai kopi. Ben pergi berkeliling dunia,
mencari koresponden ke mana-mana demi mendapatkan kopi-kopi terbaik dari
seluruh negeri. Dia berkonsultasi dengan pakar-pakar peramu kopi dari Roma,
Paris, Amsterdam, London, New York, bahkan Moskwa (hal. 1).
Ben bersama Jody lantas membuka kedai kopi yang tidak terlalu besar di
Jakarta. Tentu saja Ben-lah yang menjadi barista. Sementara Jody
bertugas di meja kasir.
Tidak seperti umumnya kedai, Ben menempati bar tepat di tengah-tengah kedai
sehingga para pengunjung dapat menyaksikan dengan gamblang bagaimana dia
meracik kopi. Lebih unik lagi, Ben membuat analogi tentang kopi. Setiap ramuan
kopi memiliki makna filosofi sendiri. Maka terpampanglah sebuah nama untuk
kedai, yakni Filosofi Kopi: Temukan Diri Anda di Sini.
Di samping mendapatkan kopi yang istimewa, pengunjung juga memperoleh kartu
kecil berupa uraian mengenai filosofi kopi yang diminumnya. Beragam terobosan
menarik yang dimunculkan Ben itu menjadikan kedai semakin ramai. Omzet
penjualan kian meningkat.
Satu hari kedai didatangi seorang pria yang tiba-tiba mentraktir seluruh
pelanggan yang tengah duduk di bar. Pemilik perusahaan importir mobil yang
telah mencapai titik kulminasi kesuksesan ini sengaja bertandang ke kafe untuk
memesan kopi yang punya arti: kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup.
Karena yang dicari tidak ada, dia menantang Ben untuk membuat kopi yang paling
sempurna. Jika berhasil, Ben berhak menerima imbalan Rp 50 juta. Tantangan ini
tanpa risiko alias tidak ada kerugian apa-apa jika Ben gagal.
Berminggu-minggu kemudian Ben tenggelam dalam “kegilaan” meramu kopi.
Akhirnya Ben berhasil membuat kopi terenak yang dinamai Ben’s Perfecto.
Kopi ini benar-benar sesuai dengan yang diinginkan oleh pebisnis tersebut. Ben
pun menerima cek yang dijanjikan.
Sejak itu Ben’s Perfecto menjadi menu favorit yang—menurut semua
orang—paling sempurna, tak tertandingi kenikmatannya. Ben sangat bangga dengan
temuannya sampai seorang pelanggan merisaukan pikirannya. Si pelanggan yang
baru pertama kali ke kafe ini mengatakan bahwa Ben’s Perfecto enak,
tetapi lebih enak kopi yang pernah dia minum di sebuah desa di Jawa Tengah.
Diliputi penasaran yang meluap-luap, Ben tancap gas ke Jawa Tengah. Jody
ikut menemani. Esoknya, mereka tiba di sebuah warung reyot milik Pak Seno.
Tanpa banyak basa-basi, mereka langsung memesan kopi. Dan kopi tiwus
yang diberikan Pak Seno sungguh enak tak terkatakan.
Ben merasa kalah dan sadar bahwa selama ini dia terjebak dalam kesempurnaan
yang palsu, artifisial. Ben’s Perfecto bukanlah kopi yang sempurna. Cek
Rp 50 juta diberikan kepada Pak Seno. Namun Pak Seno menganggap itu kertas
biasa karena dia tidak mengenal cek.
Selain cerita berjudul Filosofi Kopi, masih ada 17 cerita dan prosa.
Di antaranya, prosa bertajuk Spasi yang ditulis oleh Dee pada tahun
1998. Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda?
Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak
jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa
dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurkan tali itu
(hal. 98).
Sebagai penutup, kumpulan cerita dan prosa selama kurun waktu satu dekade
(1995-2005) ini sangat layak dan menarik untuk dibaca. Pembaca akan menemukan
pelajaran-pelajaran berharga dalam buku ini. Selamat membaca.
0 Response to "Kesempurnaan Artifisial"
Post a Comment